Wisata

pemerintahan

Post Page Advertisement [Top]

    Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang suami istri yang bernama Siti Fatimah dan Syaiyid Abdurrahman yang lebih dikenal dengan Birenggono disebuah dusun kecil bernama dusun Langgher Dejeh diperbatasan desa Ketapang Daya dan desa Ketapang Timur kecamatan Ketapang Kabupaten Sampang. Sepasang suami istri tersebut berasal dari pulau Kalimantan yang datang ke Madura bersama adik Birenggono yaitu Syaiyid Abdurrokhim yang kemudian lebih dikenal dengan Birenggana untuk menyebarkan agama Islam. Mereka dikenal masyarakat setempat memiliki keluhuran budi dan ilmu kesaktian, sehingga masyarakat manaruh hormat kepada mereka. Birenggono dan Birenggana sering melanglang buana dalam waktu yang lama untuk menyebarkan agama Islam. Pada suatu hari ketika Birenggono sedang duduk ditepi jalan dekat rumahnya Nampak dari kejauhan terlihat ada seorang sedang memikul karung, setelah mendekat kemudian Birenggono menyapa pak tua tersebut : “Mau kemana Pak? “. “Mau pulang ke Pancor pak!” jawab pak tua tadi sambil memalingkan muka. Rupanya pak tua tadi ketakutan jangan – jangan orang yang menyapanya ini adalah seorang perampok. Kemudian Bertanya lagi kepada pak tua : “Apa yang Bapak pikul? “ . “Oh ini garam Pak”, jawab pak tua karena takut jika mengatakan beras maka Birenggono akan merampok berasnya tadi. “Silahkan kalau begitu, hati – hati banyak perampok di jalan ! ” ucap Birenggono mengingatkan pak tua. “Terima kasih” jawab pak tua. Setelah sampai dirumah alangkah terkejutnya pak tua melihat isi karungnya berubah menjadi garam. Kemudian pak tua kembali menemui Birenggono untuk menanyakan barangkali berasnya tertukar. “Ada apa Pak” Tanya Birenggono ketika pak tua kembali menemuinya. “Maaf saya mau menanyakan apakah karung yang saya bawa tadi tertukar dengan karung Bapak? ”, “Tidak, memangnya apa isi karung tadi?” Jawab Birenggono. “Maaf saya tadi tidak jujur , sebenarnya isi di dalam karung saya itu beras bukan garam”, Jawab pak tua. Makanya Anda harus jujur jangan suka berbohong Pak, sebaiknya Bapak pulang saja !” ucap Birenggono berusaha mengingatkan. Dengan wajah lesu akhirnya pak tua kembali pulang, tetapi sesampainya dirumah alngkah terkejut dan bahagianya pak tua ketika membuka karung tersebut sekarang isinya kembali berubah menjadi beras.

    Pada awalnya sepasang suami istri tersebut hidup rukun dan bahagia, tetapi pada suatu hari mereka mengalami percekcokan. Sang suami mencurigai isterinya selingkuh dengan laki – laki lain demikian pula dengan sang istri yang mencurigai suaminya juga selingkuh pada wanita lain. Puncak dari percekcokan tersebut sepasang suami isteri tersebut kemudian sepakat saling bersumpah dihadapan banyak orang. Siti Fatimah bersumpah: “Jika memang dia bersalah maka ketika ia meninggal nanti jika dikuburkan ditengah sungai maka akan hanyut dibawa air sungai dan banjir, tetapi jika ia tak bersalah makamnya tidak akan hanyut oleh air sungai”. Begitupula sang suami Birenggono bersumpah jika ia nanti meninggal, makamkanlah ia di atas puncak bukit kapur. Jika ia tak bersalah maka akan mudah digali hanya dengan menggunakan ranting pohon jarak, sebaliknya jika memang bersalah maka kuburan tersebut tidak akan bisa digali.

    Setelah beberapa tahun kemudian, sepasang suami isteri tersebut meninggal dunia bersamaan. Kemudian penduduk setempat memakamkan Siti Fatimah ditengah sungai dan memakamkan Birenggono di atas bukit kapur sesuai dengan wasiat dan sumpah mereka ketika masih hidup. Dan sungguh tidak masuk akal, ketika penduduk memakamkan Siti Fatimah ditengah hilir sungai, ternyata aliran sungai seolah – olah menghindari makam membelah menjadi dua aliran menuju laut membentuk air terjun. Kemudian air terjun tersebut oleh masyarakat dinamakan “Air Terjun Toroan” berasal dari kata toron (toron dalam bahasa Madura berarti turun). Makam Sitti Fatimah kemudian oleh masyarakat dinamakan “Asta Buju’ Penyeppen”. Begitupula dengan jenazah Birenggono kemudian penduduk memakamkannya di atas bukit kapurtidak jauh dari makam Birengganah dengan cara menggali bukit kapur tersebut menggunakan ranting pohon jarak. Sungguh suatu keajaiban ternyata dengan mudah penduduk dapat menggali bukit kapur hanya menggunkan ranting pohon jarak. Makam Birenggono ini kemudian oleh masyarakat Ketapang Timur dikenal dengan “Asta Kam Tenggi” yaitu makam ditempat yang tinggi. Sampai saat ini kedua makam sepasang suami isteri tersebut dan air terjun Toroan masih dikeramatkan dan dijaga kelestariannya oleh masyarakat setempat.“Asta Buju’ Penyeppen” (makam Sitti Fatimah) terletak di dusun Langgher Daya Ketapang Daya Kecamatan Ketapang, sedangkan “Asta / Makam Tenggi” terletak di desa Ketapang Timur Kecamatan Ketapang Kabupaten Sampang

No comments:

Post a Comment

Bottom Ad [Post Page]

| Designed by Colorlib